Monday, July 2, 2012

Peran Antioksidan (N-acetylcysteine) dalam Menangani Diabetes Melitus


Diabetes melitus (DM) merupakan penyakit dengan jumlah kasus cukup yang banyak di Indonesia sehingga mendorong dunia kedokteran melakukan pendalaman penanganan mengenai patogenesis dan terapinya. Oleh karena itu, di Surabaya, diadakan pertemuan yang membahas penanganan diabetes terbaru dalam acara “Surabaya Diabetes Update-XIX dan Metabolic Cardiovascular Disease Surabaya Update-5” yang diselenggarakan di hotel JW Marriott, 6-8 November 2009.
Salah satu topik yang dibahas dalam seminar ini adalah Peran Antioksidan, khususnya peran N-acetylcysteine dalam menangani DM. Topik ini dipresentasikan oleh DR. Dr. Gunawan Subrata, MBA, yang juga merupakan Presiden Direktur P.T. Zambon Indonesia dan Far East Countries.
Menurut DR.Gunawan, faktor penting yang dapat menimbulkan berbagai penyakit pada manusia adalah adanya stres oksidatif dan inflamasi. Stres oksidatif dapat menginaktivasi antiproteinase, disfungsi endothel/ jaringan, pelepasan mediator-mediator proinflamasi, serta aktivasi sel-sel imunitas seperti lekosit polinukleus, limfosit, dan makrofag. Sel-sel yang teraktivasi ini dapat memproduksi cytokine, oksidan, dan banyak mediator lain yang berperan dalam inflamasi. Beberapa contoh dari radikal bebas adalah superoksida (O2o), hydrogen peroksida (H2O2), dan hidroksil radikal (Oho) dengan sifat yang sangat reaktif dan merupakan molekul yang tidak stabil. Radikal bebas ini dapat mengubah susunan protein, lemak, dan karbohidrat pada sel tubuh. Jika perubahan susunan terjadi pada bagian yang penting pada sel tubuh maka sel tersebut tidak lagi dapat menjalankan fungsinya secara normal. Sering kali antioksidan yang dibentuk tubuh tidak cukup untuk mengimbangi kadar oksidan yang beredar dalam tubuh sehingga diperlukan suplemen senyawa antioksidan.
DR. Gunawan menambahkan bahwa berdasarkan penelitian Lester Packer dari University of California di Berkeley, Amerika Serikat, terdapat ratusan macam antioksidan. Dari jumlah tersebut, hanya lima yang merupakan key network antioxidants yaitu glutation, vitamin C, vitamin E, lipoic acid, dan Coenzyme Q10 (CoQ10). Dua dari antioksidan ini tidak dapat diproduksi dalam tubuh sehingga harus didapatkan dari makanan, yaitu vitamin C dan vitamin E. Sedangkan tiga jenis yang lain diproduksi dalam tubuh, tetapi kadarnya dapat menurun seiring pertambahan usia dan dalam keadaan infeksi serta inflamasi.
Pada kasus DM, yang sering dikhawatirkan adalah timbulnya komplikasi yang biasanya berpengaruh pada pembuluh darah, baik mikrovaskular maupun makrovaskular serta sistem saraf. Gunawan menuturkan bahwa setidaknya terdapat paling sedikit empat jalur pokok yang berperan pada kerusakan pembuluh darah akibat hiperglikemia, yaitu peningkatan aktivitas poliol yang menyebabkan akumulasi sorbitol dan fruktosa; peningkatan pembentukan hasil akhir glikasi; aktivasi protein kinase C dan nuclear factor-kB (NF-kB); serta peningkatan aliran hexosamine.
Pada DM, salah satu tanda  yang ditemukan pada darah dan sel/jaringan penderita adalah kadar Glutathione SulfHydryl (GSH) yang rendah, lanjut Gunawan. Seperti sudah dijelaskan di atas bahwa glutation diperlukan oleh tubuh untuk mengatasi radikal bebas yang beredar dalam tubuh. Glutation intraselular adalah antioksidan yang paling kuat menurut Lester Packer. Jika kadar glutation berkurang maka kerusakan pada sel/jaringan tubuh dapat terjadi, sehingga kehilangan atau penurunan kadar GSH perlu ditingkatkan kembali. Salah satu cara untuk dapat meningkatkan kadar GSH intraselular adalah dengan pemberian N-acetylcysteine (NAC) yang merupakan prekursor dari glutation. Gunawan menjelaskan bahwa pemberian glutation secara oral tidak efektif karena akan dirusak oleh asam lambung dan enzim dalam tubuh sehingga tidak efektif menjalankan fungsinya. Juga tidak mungkin untuk memberikan bentuk aktif cysteine yaitu L-cysteine, karena absorpsinya rendah di intestinal, kelarutan dalam air lemah, dan cepat mengalami metabolisme di hati.
NAC adalah senyawa yang sudah digunakan dalam praktik klinik sejak 1960 sebagai zat mukolitik untuk penanganan penyakit respiratorik. Akan tetapi, seiring perkembangan penelitian di bidang kedokteran, NAC terbukti juga memberikan khasiat dalam mengatasi radikal bebas dan inflamasi serta dapat  memperbaiki sistem imun. NAC adalah senyawa yang mengandung thiol bebas (SulHydryl = SH) yang juga merupakan prekursor dari L-cysteine dan mempunyai rumus kimia C5H9NO3S. Selain sebagai free-radical scavenger yang bekerja langsung menetralkan radikal-radikal bebas, NAC juga bekerja sebagai antioksidan tidak langsung (indirect) dengan menyediakan L-cysteine untuk meningkatkan produksi GSH secara intraselular. Aktivitas antiinflamasi NAC mengontrol pelepasan sitokin dan adhesi selsel inflamasi agar inflamasi tidak berkelanjutan; meningkatkan sistem imun; serta memperbaiki kelainan struktur dan fungsi sel darah merah pasien diabetes dalam membawa oksigen sehingga memperbaiki hipoksia jaringan agar proses metabolisme energi dapat berlangsung. Aktivitas antioksidan dan aktivitas menghambat TNF-kB (faktor transkripsi DNA penting) dan AP-1 dari NAC sangat penting untuk memperbaiki keadaan glikemia, resistensi insulin, dan mencegah kerusakan DNA sel pada diabetes. Dengan demikian, NAC dapat berfungsi mencegah komplikasi diabetes, mempertahankan kadar gula darah, dan mencegah fluktuasi akut kadar gula dalam jangka waktu tertentu.
NAC dapat diserap secara cepat dan lengkap oleh sistem pencernaan dan dapat segera dimetabolisme menjadi L-cysteine yang merupakan prekursor lang-sung dari sintesis GSH intraseluler, lanjut Gunawan. Pada pasien DM, DR.Gunawan menyarankan pemberian NAC minimal sebesar 1200 mg per hari atau dua tablet effervescent 600 mg per hari. Produk orisinil NAC yang tersedia di Indonesia dipasarkan oleh P.T. Zambon Indonesia, yaitu Fluimucil yang diberikan secara oral (kapsul 200 mg, sachet granul 200 mg, sachet granul 100 mg, dry syrup 75 ml dan 150 ml) serta Hidonac 20% (NAC 5 gram /25 ml yang berupa infus dan ampul 10%; NAC 300 mg/3 ml) yang dapat diberikan per inhalasi dengan nebulizer, intravena, dan deep intramuscular.
Sumber: http://http://www.jurnalmedika.com